Problem motivasi saat ini masih menjadi subjek dari penelitian di berbagai institusi didalam dan diluar negeri. Karena untuk bagaimana motivasi tersebut terbentuk ternyata memiliki variabel yang beragam. Tidak ada satu variabel yang berdiri sendiri untuk memastikan bahwa motivasi orang itu akan terpenuhi. Saat ini banyak sekali perusahaan masih berfokus bahwa motivasi seseorang ditentukan oleh besarnya gaji yang mereka dapatkan, namun dari pengalaman di lapangan ternyata gaji bukan merupakan satu-satunya aspek yang penting bahkan bukan di rangking yang paling atas.
Variabel yang bisa mempengaruhi suatu motivasi seseorang adalah persepsi atau paradigma orang tersebut terhadap tempat kerjanya. Yang kedua faktor emosional yang juga bisa menciptakan kenyamanan dan keselarasan untuk seseorang tetap tinggal di satu perusahaan. Namun ini pun belum cukup karena jika kita melihat variasinya bahkan banyak sekali orang-orang yang meninggalkan perusahaan-perusahaan yang kalau menurut standar kelayakan sudah memenuhi persyaratan dan bahkan lebih.
Fenomena ini juga dipicu oleh adanya kemunculan generasi baru yang datang dengan paradigma yang berbeda tentang loyalitas. Generasi ini hidup dalam dunia di mana mereka sudah terbiasa menonton layangan singkat baik di YouTube, Tik Tok dan media sosial lainnya sehingga mereka memiliki pola berpikir senang melompat-lompat , berpindah dari satu mood kepada mood yang lain, satu kesenangan pada kesenangan yang lain . Ternyata hal ini menciptakan generasi yang pola berpikirnya sangat tergantung kepada mood yang senang melompat dan pada akhirnya membawa mereka pada jebakan yang cukup ekstrem di masa depan mereka
Di Amerika sendiri sejak pandemic tahun 2021 muncullah gelombang karyawan resign dari pekerjaan yang cukup besar, banyak orang keluar dari pekerjaan mereka untuk memilih pekerjaan pekerjaan yang bersifat bersifat ilusi. Dan uniknya kondisi ini tidak di dimotori oleh generasi yang baru saja namun generasi x terdampak untuk mereka tiba-tiba keluar dari pekerjaan yang sudah nyaman mencari sesuatu yang menantang. Namun mereka lupa bahwa di usia mereka resiko sangat tinggi. Diprediksi gelombang ini bahkan akan semakin menyusut dan kemudian akan membuat banyak perusahaan lebih selektif untuk menerima orang-orang yang bekerja kembali. Akibatnya pasar tenaga kerja menjadi di sangat luas dan kompetitif bagi pencari kerja.
Bagaimana dengan di Indonesia fenomena ini juga sudah muncul sejak tahun 2020 khususnya ketika saya banyak melakukan wawancara kerja dan saya mengamati bahwa mereka tidak semua keluar dari pekerjaan lama mereka oleh karena PHK atau habis kontrak saja. Tetapi ada juga yang memutuskan mereka keluar dari perusahaan karena mereka ingin kembali ke daerah tempat tinggal mereka. Dan yang unik beberapa yang saya interview mengatakan bahwa mereka berharap dengan kembali ke tempat daerah mereka mereka bisa lebih nyaman dan mereka juga bisa mengambil pekerjaan-pekerjaan tambahan sesuai dengan minat mereka yang banyak digandrungi saat ini seperti content creator atau aktif di media sosial dengan berjualan online.
Fenomena ini patut dicermati karena dengan gejala pola berpikir yang semakin singkat dan tanpa berpikir panjang sehingga banyak orang terjebak pada ilusi yang bisa menjadi sangat fatal bagi kehidupan mereka ke depan. Perlu ada re-alignment budaya berpikir saat ini . Khususnya antargenerasi yang baru . Agar tidak terjebak pada sensasi semata untuk sukses sebagai youtuber atau media medsos , tanpa mereka punya fondasi bagaimana mereka seharusnya membangun keterampilan kerja sehingga mereka punya nilai lebih untuk masa depan mereka.
Dalam sesi interview saya belakangan pun saya sering menemukan orang-orang yang sudah beralih kerja dari pekerjaan konvensional ke pekerjaan yang berbasiskan digital termasuk juga jualan online dan konten creator. Pada akhirnya beberapa dari mereka mulai lebih realistis untuk kembali bekerja namun banyak dari mereka menjadi gagap untuk bekerja kembali karena cukup lama mereka masuk ke dalam ilusi pekerjaan yang mudah dengan hasil yang besar. Dimana dunia kerja konvensional membutuhkan ketekunan, konsistensi, Daya juang dan kesabaran yang tinggi untuk membangun karir.
Kondisi ini ini bisa disebut sebagai digital shock dimana teknologi digital berkembang sangat pesat dan tidak diimbangi dengan pola berpikir yang benar untuk mempersiapkan diri mereka. Baru-baru ini bahkan saya sering sekali memberikan konseling kepada orang-orang yang putus kuliah karena waktu itu mereka lebih terinspirasi oleh karir karir di bidang digital yang ternyata tidak semudah yang mereka bayangkan. Anda bisa menganalisa berapa banyak content creator yang bisa menciptakan konten-konten yang memberikan hasil yang besar dan berapa orang yang profesi sebagai content Creator yang pada akhirnya nya gagal.
Kesadaran untuk lebih bersikap realistis dalam kondisi kerja yang penuh tantangan dewasa ini tentunya penting . Agar tidak banyak orang terjebak pada ilusi di mana hanya dengan mereka tampil di suatu channel lalu mereka bisa mendapatkan uang dengan mudah. Orang tua. dunia pendidikan, dunia profesional dan dunia kerja perlu mereset ulang pola berpikir euforia yang terjadi dalam 5 tahun terakhir yang menjebak banyak orang berhalusinasi bisa bekerja dengan mudah dengan hasil yang luar biasa.
Digital Shock akan berlangsung hingga 5 tahun kedepan. Tapi ada masanya perubahan budaya tersebut akan menghadapi stuck. karena hukum dalam dunia kerja adalah keseimbangan bahwa setiap keahlian masing-masing orang jika bersama-sama berkolaborasi maka akan menghasilkan hasil yang optimal. Sedangkan dalam dunia digital setiap orang merasa mampu melakukan segala sesuatu sendiri tanpa perlu orang lain dan bermimpi mendapat uang yang banyak.
[Drs. Andreas Imawanto., MM, Psikolog]
Transformasikan SDM menjadi kekuatan utama bisnis. Dengan bantuan AND-LC, Anda dapat mencapai tingkat efisiensi dan produktivitas yang lebih tinggi.